20 Oktober 2010

RAGAM LEBARAN

LEBARAN Perayaan tahunan bagi masyarakat muslim di seluruh dunia khususnya di indonesia memberikan warna tersendiri bagi masyarakat terkait dengan adat dan kebiasaan unik yang telah dilakukan turun temurun dari generasi ke generasi. Mudik menjadi agenda nasional dikarenakan mobilitas penduduk dalam jumlah yang besar dan berbagai sarana transportasi yang digunakan dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antar pulau dan bahkan antar negara, sebuah tradisi yangmenjadi ciri khas masyarakat indonesia dimata khalayak intenasional. Ceritanya akan lain bila kondisi geografis wilayah kita dalam satu daratan yg bisa ditempuh dengan perjalanan darat maupun udara, bertambah koleks permasalahan karena mudik juga harus melintasi lautandan penyeberangan antar pulau.
Esensi dari kepulangan sanak saudara kita ke tempat kelahiran atau orang yang dianggap dituakan bukan cuma sebatas untuk meminta maaf akan tetapi lebih luas mudik lebaran sebagai sarana berbagi. berbagi ekonomi maupun berbagi informasi. Hal inilah yang kemudian menimbulkan arus urbanisasi besar dari desa ke kota melihat kesuksesan secara ekonomi mereka yang beraktifitas di perkotaan cenderung lebih menjanjikan serta adanya informasi ketersediaan lowongan untuk mereka yang mencoba mengadu nasib di kota. Tak heran bila urbanisasi ini tak akan bisa terselesaikan selama kesenjangan terus menganga.
Otonomi daerah dengan segala kekuatan untuk mengatur dan mensejahterakan daerah sendiri dengan melihat kemampuan sendiri tak cukup untuk menyihir kaum usia produktif untuk tinggal didaerah sendiri atau menghindarkan mereka untuk mengadu nasib diluar negeri, padahal grand master otonomi ini adalah untuk mengurangi kesenjangan dan ketidakmerataan pembangunan antara kota besar (=jakarta) dengan daerah-daerah lain namun ternyata masih jauh dari kenyataan.
Hampir sebagian besar anggaran pembangunan dihabiskan untuk menyambut moment lebaran ini. Lihat saja berapa anggaran dihabiskan untuk memperbaiki jalan, jembatan hanya untuk memuluskan arus mudik berjalan lancar, pengamanan yang begitu hebat sepanjang jalan yang dilalui para pemudik, iklan dan baliho bertebaran sepanjang jalan agar bisa dibaca dan dinikmati pemudik, semuanya dikemas dalam rangka menyambut arus mudik lebaran, maka pantas saja bila jalan yang tak pernah dilalui pemudik akan dibiarkan terbengkalai dan berlubang, gelap gulita dimalam hari serta rawan kamtibmas. Tetapi itupun masih mending, coba kalau tidak ada arus mudik, jalan negarapun sepertinya akan dibiarkan berlobang dan bergelombang karena kehilangan momentum untuk memperbaikinya.
Begitulah potret pembangunan kita dulu dan saat ini tak banyak berubah, mudah mudahan bukan cuma rakyatnya saja yang berpuasa di bulan ramadhan ini dan saat lebaran kembali kepada fitrahnya sebagai manusia yang masih saja sering berbuat kesalahan dan pongah baik didepan manusia lain maupun dimuka Allah sang pencipta. Tetapi pula petinggi negara kita juga ikut berpuasa sehingga dapat menginstrospeksi diri akan berbagai peringatan bencana dan krisis yang dirasakan saat ini agar kembali mengingat bahwa ternyata tak ada apa-apanya kita didepan negara lain dan terlena dengan kekayaan alam yang melimpah namun hidup serba kekurangan seperti tikus yang kelaparan dilumbung padi.

Tradisi Lebaran di Cirebon
Sejenak kita tinggalkan hiruk pikuk politik. Bukan sesuatu yang istimewa bila lebaran tak ada yang berbeda dengan hari biasa. Kebiasaan masyarakat di pesisir utara pulau jawa khususnya cirebon tempat saya tinggal masih lekat dengan budaya lama yang ditinggalkan para wali.
Beberapa hari menjelang lebaran membagikan sepiring nasi dan sebutir telor kepada tetangga dan kerabat. Ini dimaknai sebagai kepedulian terhadap mereka yang berpuasa agar bisa berbuka dengan sesuatu yang menggembirakan menyambut datangnya lebaran. Dua hari menjelang lebaran biasanya pasar dipenuhi masyarakat yang berbelanja baik kebutuhan sandang untuk dipakai disaat lebaran maupun kebutuhan makanan untuk menyambut par tamu yang berkunjung ke rumah saat lebaran. Para pedagang menyebutnya dengan “mrema cilik atau mrema kecil” yang artinya saat yang ramai awal para pembeli menjejali pasar-pasar. Hari besoknya disebut dengan “ mrema gede” atau keramaian besar karena saat terakhir para pembeli berbelanja sehingga hampir semua pedagang di pasar tersebut laku jualannya. Hal ini dilakukan para pembeli bukan cuma berbelanja untuk kebutuhan saat hari H lebaran saja tetapi juga untuk persediaan setelah lebaran karena setelah lebaran biasanya pasar sepi dari penjual dan mereka akan beraktifitas seperti biasa seminggu setelah lebaran.
Saat lebaran yang pertama dipadati setelah shalat ied adalah pemakaman umum, dimana mereka berbondong-bondong sambil menuju ke tempat sanak saudara mempir ke makam para leluhurnya untuk memanjatkan doa sambil membawa bunga khas yang dapat dijumpai pada saatlebaran yaitu kembang selasih yang diikat batangnya kecil-kecil untuk diletakkan diatas makam. Setelah itu baru mencicipi makanan yang biasa dipersiapkan saat lebaran. Untuk menu makanan gak ada yang spesial, umumnya adalah sambal goreng dan opor ayam dengan ketupat atau lontong. Kebiasaan memasak sambal goreng inilah yang membuat harga cabe merah (bukan cabe kriting)dan daging sapi melonjak tinggi saat mrema karena permintaan yang melonjak. Perlu diketahui bahwa sambal goreng terbuat dari irisan daging sapi yang dipotong sebesar dadu dan diberi irisan kecil cabe merah serta dibumbui. Dimakan bersama opor ayam dan kupat tahu atau lontong (bongko dalam bahasa cirebon).
Bagi mereka yang mudik biasanya seminggu baru pulang ke tempat asalnya, pasalnya pada saat seminggu setelah idul fitri (bila idul fitri jatuh hari jumat maka jumat minggu depannya) aktifitas ziarah dipusatkan di makam sunan gunung jati di gunung sembung desa Astana Kec. Gunung jati. Dengan dikordinir oleh kuwu/kepala desa masyarakat tumpah ruah ke areal pemakaman sunan gunung jati untuk berziarah kubur baik itu ditempuh dengan berjalan kaki/longmarch maupun berkendaraan dalam umlah rombingan besar, disana mereka terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan asal daerahnya, misalnya orang Megu maka akan berziarah ke makam Ki Gede Megu yang juga makamnya terdapat disana dalam kompleks pemakaman Gunung Sembung. Orang Kalitengah akan berziarah ke makam Nyi Gede Kalitengah yang menurut sejarah sebagian besar para Gegeden/Ki Gede dimakamkan didekat makan Sunan Gunung Jati tersebut.

Daging Kerbau di Pandeglang
Dengar kata kerbau agak asing ditelinga maklumlah bagi wilayah perkotaan daging kerbau kalau favorit dengan daging sapi. Sama seperti daging kambing jawa kalah menarik dari daging domba. Akan tetapi bagi masyarakat pandeglang Banten, daging kerbau menjadi favorit dibanding dengan sapi. Entah apa alasannya apa karena populasi sapi yang kurang atau memang tradisi masyarakatnya lebih menyukai kerbau daripada sapi walau struktur seratnya lebih kasar. Disini paling  favoritnya daging kerbau ketika lebaran menjadi tren tersendiri dan tak terlewatkan bisa dijumpai di tiap rumah. Bahkan ada tradisi yangdisebut “ngerancap” yaitu sekelompok warga yang beriuran/patungan untuk membeli kerbau yang khusus dipotong untuk kebutuhan lebaran. Dagingnya dibagikan kepada setiap orang yang beriuran dan kalau masih ada sisa uang maka disadaqohkan untuk masjid atau musholla.
Begitu spesialnya moment lebaran ini walaupun sehari-hari susah untuk membeli daging kerbau maka untuk moment lebaran mereka berusaha agar bisa menikmati daging kerbau dihari mulia ini.
Menu makanan yang biasa dibuat orang didaerah ini saat lebaran hampir sama dengan betawi, biasanya membuat gemblong yaitu ketan yang dikukus kemudian dtumbuk dan dibuat melingkar sebesar piring. Kemudian dimakan setelah diiris kecil lalu dgoreng atau dibakar. Gemblong ini bisa bertahan 2-4 hari. Biasanya pula disantap ditemani tape ketan putih atau hitam, lebih enak lagi sambil minum kopi, kopi menjadi minuman wajib yang disediakan kepada tamu di daerah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar